Grup Menentang Lembaga Fatwa Al-Azhar Hadir di Facebook


Sekelompok anak muda Mesir meluncurkan sebuah grup pada situs jejaring sosial terkenal “Facebook”, grup yang mereka luncurkan mengkampanyekan untuk memboikot Majma’ al-Buhuts Islamiyah (lembaga riset Islam Al-Azhar) yang mereka tuduh telah menyimpang dari aturan yang benar dengan mengeluarkan fatwa yang “menghalalkan” pembangunan tembok baja.

Menurut surat kabar “Al-Yaum Sab’a” mengutip pernyataan pendiri grup facebook tersebut menyatakan bahwa grup mereka berjudul “Kampanye Menentang lembaga riset Islam Al-Azhar” dan menurut mereka fatwa dari lembaga Al-Azhar itu penyebab rakyat Gaza terkepung oleh bangunan tembok baja.

Mereka juga mengejek anggota lembaga riset Al-Azhar itu yang tidak rasional dalam mengeluarkan fatwa agama, pendiri grup itu mengatakan:”terowongan-terowongan bawah tanah digunakan oleh warga Gaza untuk menyelundupkan obat-obatan dan kebutuhan pokok, apakah anda akan mengatakan fatwa ini dikeluarkan untuk mencegah masuknya pisau dapur ke jalur Gaza karena ditakutkan akan dipakai untuk membunuh?”

Sebelumnya Majma’al-Buhuts Islamiyah Al-Azhar telah mengeluarkan fatwa pada hari Kamis lalu yang mendukung pembangunan tembok baja antara Mesir dan Palestina dan menyebut orang yang menentang pembangunan tembok tersebut telah melanggar hukum Islam.

Dalam fatwanya itu,lembaga riset Islam Al-Azhar menyatakan bahwa hak setiap negara untuk mengevaluasi wilayah dan menjaga perbatasan mereka untuk menghalangi orang-orang menggunakan terowongan bawah tanah dengan tujuan untuk menyelundupkan narkoba dan yang sejenisnya sehingga akan dapat merusak keamanan wilayah Mesir dan dapat mengancam kepentingan-kepentingan Mesir yang lain, lembaga tersebut juga mengklaim bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah Mesir dengan membangun tembok baja untuk menjaga keamanan wilayahnya – diperintahkan oleh syariat Islam.

Di sisi lain, sejumlah anggota lembaga menyatakan penentangan mereka terhadap fatwa yang mendukung pembangunan tembok dengan mengatakan: “Syaikh Muhammad Sayid Tantawi – Syaikhul Azhar – mengeluarkan fatwa ini secara sendiri dan tidak mengambil pandangan dari kebanyakan anggota Majma’al-Buhuts Islamiyah.”(fq/imo)

2 responses to “Grup Menentang Lembaga Fatwa Al-Azhar Hadir di Facebook

  1. Assalamualaikum

    Mari galakkan Posting Membela Islam
    KIta lupakan saja Web yang mengolok olok
    Kita tinggalkan saja (jangan dikunjungi)
    Kita cukup menyebarkan Pesan Positif
    untuk mengalahkan Fitnah kejam Sang pembuat Nista tersebut

    POSTING BARU TEMA ISLAM RAHMATAN LILALAMIN

    Terbukti, Penelitian Universitas AS bahwa Muslim itu Bukan Teroris

    Terbukti, Penelitian Universitas AS bahwa Muslim itu Bukan Teroris

    TUKERAN LINK YUK
    http://tarbiyatulbanin.wordpress.com

  2. Penyelewengan Ilmu Aqidah oleh para orientalis dan misionaris Yahudi dan Kristen
    Snouck Hurgronje harus berpura-pura masuk Islam untuk menjauhkan kaum Muslim dengan Islam. Begitu cara orientalis

    Snouck Hurgronje : “Adalah kewajiban kita untuk membantu penduduk negeri jajahan -maksudnya warga Muslim Indonesia- agar terbebas dari Islam”. Demikian ujar Snouck tahun 1876, saat menjadi mahasiswa di Leiden.
    Untuk merubah wajah Islam, Snouck menggunakan cara berpura-pura masuk Islam. Snouck pernah menulis laporan panjang yang berjudul kejahatan-kejahatan Aceh. Laporan ini kemudian jadi acuan dan dasar kebijakan politik dan tentera Belanda dalam menghadapai masalah Aceh.
    Snouck pernah menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatik agama di kalangan Muslimin. Pada saat yang sarna, Islam membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan “pembersihan” ‘Ulama dari tengah masyarakat, maka Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para tokoh-tokoh adat dapat menguasai dengan mudah.
    Sambil berpura-pura masuk Islam, Snouck juga tetap melakukan perhubungan dengan gurunya Theodor Noldekhe, seorang orientalis Jerman terkenal. Dalam suratnya, Snouck pernah menegaskan bahwa keislaman dan semua tindakannya adalah permainan untuk menipu orang Indonesia demi mendapatkan maklumat.
    “Saya masuk Islam hanya pura-pura. Inilah satu-satulnya jalan agar saya bisa diterima masyarakat Indonesia yang fanatik. ” Siapa Snouck?

    Christian Snouck Hurgronje (1857-1936)
    Orientalis ini sangat dikenali masyarakat Indonesia. Lahir di Belanda, Snouck meraih gelar sarjananya di Fakulti Teologi, Universiti Leiden. Keudian ia melanjutkan ke jurusan satera Semitik dan meraih doktor, ketika umur 23 tahun (24 November 1880).
    Disertasinya tentang ‘Perjalanan Haji ke Mekah’, ‘Het Mekkanche Feest’. Tahun 1884 ia pergi ke Jedah sampai 1885, dan bersiap-siap untuk masuk ke Mekah. Snouck kemudian berpura-pura masuk Islam, agar bisa ke Mekah dan menjalankan ibadah haji. Tapi enam bulan kemudian ia diusir karena terbongkar jati dirinya.
    Ia kemudian kembali ke Belanda sebagai dekan di Universiti Leiden hingga tahun 1887. Lalu ia tinggal di Indonesia, sebagai jajahan Belanda hingga 17 tahun, dengan kedudukan sebagai penasehat pemerintah Belanda. Ia menulis karyanya yang berjudul ‘Makkah’ dalam bahasa Jerman, dua jilid (1888-1889). Selain itu, ia juga menulis ‘De Atjehrs’ (Penduduk Aceh) dalam dua jilid (1893-1894).
    Dalam disertasinya yang berjudul ‘Het Mekkanche Feest’, Snouck menjelaskan arti ibadah haji dalam Islam, asal usul dan tradisi yang ada di dalamnya. Ia mengakhiri tulisan dengan menyimpulkan bahwa haji dalam Islam merupakan sisa-sisa tradisi Arab Jahiliyah. (Mustolah Maufur, hal. 53). Pendapat Snouck memang mirip dengan Goldziher yang mencoba menarik-narik pengaruh tradisi Jahiliyah, Kristen dan Yahudi ke Islam. Snouck bahkan lebih jauh mencoba mengeliminir Islam hanya menjadi agama ritual, ibadah khusus belaka. Dan ‘mengkiritk’ umat Islam yang membawa-bawa Islam ke arah perjuangan politik.

    Louis Massignon (1883-1963)
    Ia adalah orientalis terkemuka berasal dari Perancis. Louis banyak belajar dari tokoh-tokoh orientalis terkenal, seperti Goldziher, Hurgronje dan Le Chatelle orientalis dari Perancis. Ia pernah mengujungi dunia Islam selama tiga tahun sampai 1954. Di Baghdad, ia mengadakan misi penelitian dan penggalian arkeologis dan berhubungan baik dengan tokoh Iraq Al Alusi. Pada tahun 1906-1909 ia pergi ke Mesir dan belajar di Universiti Al Azhar. Pada tahun 1912 ia mengajar filsafat disitu dan diantara pengagumnya adalah Dr. Thaha Husein Di Timur Tengah saat itu ia juga menjadi perwira tentera pada kantor Gubernur Jenderal Perancis di Suria dan Palestina. Pengalamannya di dunia Islam itu menjadikannya orientalis yang sangat memahami politik di dunia Islam.
    Tahun 1922 ia kembali ke Paris untuk menyelesaikan program doktornya di Universiti Sorbonne. Ia menulis disertasi mengenai tasawuf Islam
    Massignon selain mengkaji Islamologi, ia juga menjadi pembimbing rohani pada perkumpulan missionarisme Perancis di Al-Azhar Mesir. Salah seorang muridnya yang terkenal adalah Syeikh Abdul Halim Mahmud(dekan Fakulti Usuluddin pada tahun 1964, ).
    Ia berusaha keras memasukkan misi Kristen pada program-program pemerintah Perancis di tanah jajahannya di Timur Tengah. Bahkan ia berusaha –sebagaimana Goldziher—memasukkan unsur-unsur Katolik dalam Islam. Dimana ia menyamakan penghormatan kaum Muslim kepada Fatimah sebagaimana pemujaan Katolik ke ‘Ibu Maria’. Ia menulis sejumlah karya : Yesus dalam Injil menurut Al Ghazali (1932), Al Mutanabbi dan Masa Dinasti Ismailiyah dalam Islam (1935), Sejarah Ilmu Pengetahuan di Kalangan Bangsa Arab (1957) dan lain-lain.
    Massignon juga berusaha mempengaruhi rakyat Afrika Utara agar menerima niat baik politik Perancis di wilayah itu. Aliran sufi dan mistik ini banyak dianut oleh rakyat Afrika Utara dan itu sangat menguntungkan pemerintah Perancis. Ia berusaha menyakinkan rakyat Afrika Utara agar menjadi bahagian dari tanah Perancis.
    Selain orientalis-orientalis yang disebutkan di atas, sebenarnya masih banyak lagi orientalis lain yang pengaruhnya besar bagi dunia Islam. Seperti J. Arberry, Arthur Jeffery, Montgomery Watt dan lain-lain. Orientalis masa kini pun tak kalah banyaknya dengan zaman dahulu. Bahkan kini mereka mendirikan ‘Islamic-Islamic Studies’ di Barat, untuk mendidik anak-anak cerdas Islam agar mengikuti jejak mereka. Diantara tokoh yang terkenal adalah Wilfred C Smith dan Leonard Binder. Kini, ada beberapa orientalis yang dikenal cukup akomodatif dengan Islam, meski masih ada bias-bias dalam tulisannya. Seperti John L Esposito dan Karen Amstrong. Esposito, meski banyak melahirkan karya-karya yang membela Islam, tapi ia tetap memberi cap kepada Sayyid Qutb dan Al Maududi sebagai tokoh “Islam Radikal”. Karen Amstrong menyamakan “Islam Fundamentalis” dengan Kristen Fundamentalis dan Yahudi Fundamentalis. Dan itulah yang dirujuk dan dipuja-puja kaum liberal untuk melihat Islam.

    Murid kepada Louis Massignon : Syeikhul Azhar Imam al-Akbar (1973)
    Dr. Abdul Halim Mahmud
    Pada awal tahun 1960an, gelombang anti al-Azhar telah menguasai media Mesir. Gelombang ini telah sampai ke kemuncaknya dengan dokongan ulama-ulama yang masih setia mempertahankan aqidah Islam sebenar. Sebagai tindakbalas, Syeikh Abdul Halim terus berhenti memakai pakaian Eropahh dan mengantikannya dengan pakaian al-Azhar. Beliau juga mengarahkan agar rakan-rakannya untuk bertindak sedemikian.Beliau tahu bahawa gelombang ini sangat merbahaya kepada kerjaya beliau. Detik-detik itu juga telah menyaksikan penulis-penulis warisan Islam menyerang sejumlah besar ulama al-Azhar di dalam akhbar-akhbar mereka. Bahkan, Syeikh Abdul Halim sendiri tidak terkecuali.
    Beliau juga merupakan seorang penulis . Beliau telah menulis lebih daripada 60 buah buku. Terdapat kitab-kitab ulama silam yang ditulis semula oleh beliau termasuk Kitab Imam Al-Ghazali. Kitab-kitab karangan beliau telah menjadi rujukan pelajar-pelajar Al-Azhar sehingga kini. Inilah sumber Ilmu aqidah umat Islam sedunia yang ditinggalkan hasil dari kekotoran tangan-tangan penjajah.

    The Cloak Of a Religious Man (Jubah Orang Alim)
    Di antara strategi musuh Khilafah Islamiyyah yang terakhir di Turki ialah menggunakan manusia-manusia yang memakai ‘jubah orang alim’ bagi meresapi faham-faham yang asing dari Agama. Artikel di bawah ini dikutip dari satu website di Turki yang sememangnya gigih mempertahankan firqah najiyyah Ahl Sunah Wal Jama’ah bawah tanah dan Khilafah. Ianya adalah dipelupuri oleh golongan tasawwuf yang berkesinambungan terus dengan jaringan ulama-ulama besar Ahl Sunnah Wal Jama’ah silam yang bertali-temali sehingga kepada ulama-ulama besar salafusolihin di abad-abad yang terdahulu.
    Tekanan hebat di zaman Bapa Kekufuran (Riddah) Turki; Kamal Attartuk laknatuLlah alaih, tidak menghilangkan 100% warisan ilmu Ahl Sunnah Wal Jama’ah yang mereka pertahankan. Cuma sisa-sisa ini tidak lagi dapat dipelajari di sekolah-sekolah formal(rasmi) kerajaan, malah Ilmu aqidah Islam yang sebenar(tersisa) ianya di anggap aneh dan sesat selepas era-penjajahan. Mereka ini adalah pejuang-pejuang sekolah-sekolah agama penuh rakyat (kalau di Negara-negara Arab ianya sekolah bawah tanah, dan di rantau Nusantara dikenali sebagai sekolah pondok) dan inilah sisa-sisa kebenaran yang tinggal. Itu pun akibat dari tekanan yang berterusan sebahagian besar darinya telah terkakis kefahaman sebenar. Semoga Allah subhanahu wata’ala memelihara agamaNya.

    ANCAMAN TERHADAP HADIS
    Ignaz Goldziher misionaris Yahudi
    ANCAMAN para orientalis dan misionaris Yahudi dan Kristen telah menimbulkan dampak yang cukup besar. Melalui tulisan-tulisan yang diterbitkan dan dibaca luas, mereka telah berhasil mempengaruhi dan meracuni pemikiran sebahagian kalangan Umat Islam. Maka muncullah gerakan penyaringan hadis kononnya di Mesir, Arab Saudi, Jordan, Turki, India, Pakistan dan Asia Tenggara. Hasilnya sebahagian besar hadis-hadis penting terutamanya tentang aqidah Islam terlah menjadi korban yang kebanyakannya diriwayatkan oleh Saidina Ali, Hassan, Hussin dan Fatimah dengan alasan terdapat unsur-unsur penyelewengan Syiah. Maka mereka sanggup anggap syiah selewengkan hadis sedangkan para orientalis dan misionaris Yahudi dan Kristen tidak di anggap sedemikian pula malah di anggap pula sebagai guru. Pelik dan ajaib sungguh sikap ulama-ulama boneka ini.
    Wabak anti-hadits juga sempat merebak di Timur Tengah. Pengasasnya adalah artikel Muhammad Tawfīq Shidqī yang dimuat dalam majalah al-Manār Kairo, Mesir. Menurut Shidqī, perilaku Nabi Muhammad SAW tidak dimaksudkan untuk ditiru seratus peratus; Umat Islam semestinya berpegang pada dan cukup mengikuti al-Qur’an saja. Namun setelah mendapat kritik dan sanggahan dari para tokoh ulama penapis hadis Mesir (murid-murid Goldziher) dan India (Syaikh Ahmad Manshūr al-Bāz, Syaikh Thāhā al-Bisyrī, dan Syaikh Shālih al-Yāfi‛ī), dan atas saranan Muhammad Rasyīd Ridhā, Shidqī akhirnya sedar dan menarik balik pendapat-pendapatnya.
    Selain Shidqī, sebahagian cendekiawan penapis hadis Mesir(murid-murid Goldziher) yang juga mempersoalkan status hadits adalah Ahmad Amīn, Muhammad Husayn Haykal dan Thaha Husayn. Dan heboh berikutnya timbul menyusul terbitnya karya-karya Mahmūd Abū Rayyah yang intinya menolak otentisitas sekaligus otoritas hadits maupun sunnah, mempersoalkan intigriti (‛adālah) para Shahabat umumnya dan Abū Hurayrah ra khususnya. Disini ditekankan cendiakawan Islam tanpa sedar telah menari dengan tarian orientalis.
    Gelombang ini juga sampai ke Nusantara. Di Indonesia gerakan ini telah dilarang secara resmi oleh para ulama dan Pemerintah sebagaimana tertera dalam Fatwa hasil keputusan Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia Pusat tahun 1983 dan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor 169/J.A/9/1983.
    Di Malaysia gerakan anti-hadits dipelopori oleh Kassim Ahmad. Orang ini menulis buku kecil yang isinya meragukan kesahihan hadits dan sekaligus menolaknya. Tidak hanya isinya yang membenarkan dan mepromosi orientalis, bahkan judul bukunya pun, “Hadis – Suatu Penilaian Semula”, mengingatkan kita pada judul artikel Joseph Schacht beberapa dekade yang lalu: “A Revaluation of Islamic Tradition”.
    Pada 8 July 1986, buku tersebut dilarang peredarannya oleh Kementrian Dalam Negeri Malaysia. Berikut ini ulasan kritis tentang pelbagai tindakan licik orientalis dan para pengikutnya(murid-muridnya) dalam menggungat kesahihan (keaslian) hadits Rasulullah SAW dan meruntuhkan hujah (hujjiyyah)-nya sebagai salah satu sumber asasi ajaran Islam.
    Orientalis yang dimaksud disini adalah para sarjana Barat yang notabene non-Muslim (Yahudi, Kristen atau bahkan atheis) namun sibuk mengkaji Islam beserta selok-beloknya. Adapun pengikut orientalis yang dimaksud adalah kalangan Muslim dan menjadi pujaan oleh dunia Islam hari ini. Perlu diketahui dan senantiasa diingat bahwa Umat Islam, khusunya kaum berilmu alias ‛ulamā’ dari dahulu (salaf) hingga sekarang (khalaf), tidak pernah ada yang meyakini dan mengatakan bahwa seluruh hadits yang ada itu asli atau sahih semuanya. Sebaliknya, tidak ada pula yang berkeyakinan bahwa semua hadits yang ada itu palsu belaka. Hanya orang bodoh dan tak berilmu yang berpendapat dan berkata demikian. Cukuplah kita telah banyak kehilangan khazanah berharga itu.
    Ancaman orientalis terhadap hadits bermula pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh bahagian Dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropah. Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).
    Hujah ini diyakini oleh rekaan satu misinya William Muir, orientalis asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad SAW dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam literatur hadits, nama Nabi Muhammad SAW sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan (“…the name of Mahomet was abused to support all possible lies and absurdities”). Oleh sebab itu, katanya lebih lanjut, dari 4000 hadits yang dianggap shahih oleh Imam Bukhārī, paling tidak separuhnya harus ditolak: “…the European critic is compelled, without hesitation, to reject at least one-half.” Itu dari sudut sumber isnādnya, sedangkan dari sudut isi matannya, maka hadits “must stand or fall upon its own merit”. Tulisan Muir ini kemudian dijawab oleh Sayyid Ahmad Khan dalam esei-eseinya.
    Selang beberapa lama setelah itu muncul Ignaz Goldziher. Yahudi kelahiran Hungaria ini sempat “nyantri” di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, selama kurang lebih setahun (1873-1874). Setelah kembali ke Eropah, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai orientalis yang konon paling mengerti tentang Islam, meskipun dan jesteru karena tulisan-tulisannya mengenai Islam sangat negatif dan distortif, mengelirukan dan menyesatkan.
    Dibandingkan dengan para pendahulunya, pendapat Goldziher mengenai hadits jauh lebih negatif. Menurut dia, dari sekian banyak hadits yang ada, sebahagian besarnya ―untuk tidak mengatakan seluruhnya― tidak dapat dijamin keasliannya alias palsu dan, karena itu, tidak dapat dijadikan sumber informasi mengenai sejarah awal Islam.
    Menurut Goldziher, hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam: “Das Hadith wird uns nicht als Document für die Kindheitsgeschichte des Islam, sondern als Abdruck der in der Gemeinde hervortretenden Bestrebungen aus der Zeit seiner reifen Entwicklungsstadien dienen”.
    Ini berarti, menurut dia, hadith adalah hasil ciptaan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau.
    Karena Ancaman orientalis terhadap hadits pada awalnya mempersoalkan ketiadaan data historis dan bukti tercatat (documentary evidence) yang dapat memastikan kesahihan hadits, maka sejumlah pakar pun melakukan penyaringan intensif(nyahbuang hadis) perihal sejarah literatur hadits dengan alasan untuk mematahkan serangan orientalis yang mengatakan bahwa hadits baru dicatat pada abad kedua dan ketiga Hijriah.
    Spekulasi Goldziher dan rakan-rakannya tersebut diatas kemudian ditelan dan diolah lagi oleh Joseph Schacht, orientalis Jerman yang juga keturunan Yahudi. Dalam bukunya yang cukup kontroversial, Schacht menyatakan bahwa tidak ada hadits yang benar-benar asli dari Nabi SAW, dan kalaupun ada dan dapat dibuktikan, maka jumlahnya amat sangat sedikit sekali: “we shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic.”
    Meskipun telah banyak dikritik, teori dan metode Schacht masih saja digunakan dan dikembangkan oleh Gauthier Juynboll dan ulama-ulama bertauliah Islam Mesir, Arab Saudi, Jordan, Turki dan lainnya tidak ketinggalan menari diatas pentas yang sama
    Sebagaimana telah disigung di muka, Ancaman orientalis dan para pengikutnya terhadap hadits telah ditolak dan dijawab oleh sejumlah ulama pakar kononnya(Ulama Islam murid orientalis) dengan tanpa sedar merekalah yang menjadi penyaring terbaik untuk mengikis hadis-hadis penting terutamanya berkaitan aqidah .

    Contoh percubaan penyaringan Hadis :
    Shahih : Hadis Saidina Ali Pintu Kota Ilmu
    Hadis Saidina Ali pintu kota ilmu termasuk hadis yang dibenci oleh para salafy wa nashibi. Mereka bersikeras menyatakan hadis tersebut palsu dan dibuat-buat oleh orang syiah. Sebelumnya kami pernah membahas tentang hadis ini dan kami berpendapat bahwa hadis ini kedudukannya hasan tetapi setelah mempelajari kembali maka kami temukan bahwa hadis ini sebenarnya hadis yang shahih. Pada pembahasan kali ini kami akan membawakan hadis ini dengan sanad yang jayyid.
    Sebelumnya kami akan menyampaikan fenomena menarik seputar hadis ini. Hadis ini telah dinyatakan palsu oleh sebagian ulama sehingga para ulama itu tidak segan-segan mencacat mereka yang meriwayatkan hadis ini. Dengan kata lain, berani meriwayatkan hadis ini maka si perawi siap-siap mendapat tuduhan seperti “dhaif” atau “pemalsu hadis” atau “rafidah busuk”. Hadis pintu kota ilmu masyhur diriwayatkan oleh Abu Shult Abdus Salam bin Shalih Al Harawi dan kasihan sekali orang ini dituduh sebagai yang memalsukan hadis tersebut sehingga tidak segan-segan banyak ulama yang berduyun-duyun mendhaifkan Abu Shult.
    Fakta membuktikan ternyata Abu Shult tidak menyendiri dalam meriwayatkan hadis ini. Bersamanya ada banyak perawi lain baik tsiqat, dhaif atau majhul yang juga meriwayatkan hadis ini. Bukankah ini salah satu indikasi kalau Abu Shult tidak memalsukan hadis ini. Dan ajaibnya seorang Saidina terkenal Ibnu Ma’in bersaksi kalau Abu Shult tidak memalsukan hadis ini bahkan Ibnu Ma’in menyatakan Abu Shult seorang tsiqat shaduq.
    Ternyata para ulama tidak kehabisan akal, mereka membuat tuduhan baru yang akan mengakhiri semuanya. Tuduhannya tetap sama “Abu Shult memalsukan hadis ini” tetapi dengan tambahan “dan siapa saja yang meriwayatkan hadis ini selain Abu Shult maka dia pasti mencuri hadis tersebut dari Abu Shult”. Mengagumkan, perkataan ini jelas menunjukkan bahwa sebanyak apapun orang lain selain Abu Shult meriwayatkan hadis ini maka hadis ini akan tetap palsu keadaannya. Fenomena ini menunjukkan betapa canggihnya sebagian ulama sekaligus menunjukkan betapa konyolnya sebagian ilmu jarh wat ta’dil.
    Mengapa konyol?. Karena jelas sekali dipaksakan. Mereka ingin memaksakan kalau hadis ini palsu dan yang memalsukannya adalah Abu Shult Al Harawi. Di bawah ini kami akan membawakan sanad yang menunjukkan kalau hadis ini tidaklah palsu dan Abu Shult bukanlah orang yang tertuduh memalsu hadis ini.
    ثنا أبو الحسين محمد بن أحمد بن تميم القنطري ثنا الحسين بن فهم ثنا محمد بن يحيى بن الضريس ثنا محمد بن جعفر الفيدي ثنا أبو معاوية عن الأعمش عن مجاهد عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا مدينة العلم وعلي بابها فمن أراد المدينة فليأت الباب
    Telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Qanthari yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Fahm yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Dharisy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far Al Faidiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah dari Al ‘Amasy dari Mujahid dari Ibnu Abbas RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya dan siapa yang hendak memasuki kota itu hendaklah melalui pintunya” [Mustadrak As Shahihain Al Hakim no 4638 dishahihkan oleh Al Hakim dan Ibnu Ma’in]
    Hadis riwayat Al Hakim di atas telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan shaduq hasanul hadis. Mereka yang mau mencacatkan hadis ini tidak memiliki hujjah kecuali dalih-dalih yang dipaksakan. Berikut pembahasan mengenai perawi hadis tersebut dan jawaban terhadap syubhat dari para pengingkar.
    Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Qanthari yang dikenal Abu Husain Al Khayyath adalah Syaikh [gurunya] Al Hakim dimana Al Hakim banyak sekali meriwayatkan hadis darinya. Al Hakim telah berhujjah dengan hadis-hadisnya dan menshahihkannya dalam Al Mustadrak. Selain itu Al Hakim menyebutnya dengan sebutan Al Hafizh [ini salah satu predikat ta’dil] dalam Al Mustadrak no 6908. Muhammad bin Abi Fawaris berkata “ada kelemahan padanya” [Tarikh Baghdad 1/299]. Pernyataan Ibnu Abi Fawaris tidaklah benar karena Al Hakim sebagai murid Abu Husain Al Khayyath lebih mengetahui keadaan gurunya dibanding orang lain dan Al Hakim telah menta’dilkan gurunya dan menshahihkan hadis-hadisnya. Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak juga tidak pernah mengkritik Abu Husain Al Khayyath bahkan ia sepakat dengan Al Hakim, menshahihkan hadis-hadis Abu Husain Al Khayyath.
    Husain bin Fahm adalah seorang yang disebut Adz Dzahabi sebagai Al Hafizh Faqih Allamah yang berhati-hati dalam riwayat. [Siyar ‘Alam An Nubala 13/427]. Al Hakim menyatakan ia tsiqat ma’mun hafizh [Mustadrak no 4638]. Al Khatib juga menyatakan ia tsiqat dan berhati-hati dalam riwayat [Tarikh Baghdad 8/92 no 4190]. Disebutkan kalau Daruquthni menyatakan “ia tidak kuat”. Pernyataan Daruquthni tidak bisa dijadikan hujjah karena ia tidak menjelaskan sebab pencacatannya padahal Al Hakim dan Al Khatib bersepakat menyatakan Husain bin Fahm tsiqah ditambah lagi pernyataan “laisa biqawy” [tidak kuat] bukan pencacatan yang keras dan juga bisa berarti seseorang yang hadisnya hasan.
    Muhammad bin Yahya bin Dharisy adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Hibban memasukkan namanya dalam Ats Tsiqat juz 9 no 15450 dan Abu Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh wat Ta’dil 8/124 no 556] dan sebagaimana disebutkan Al Mu’allimi kalau Abu Hatim seorang yang dikenal ketat soal perawi dan jika ia menyebut perawi dengan sebutan shaduq itu berarti perawi tersebut tsiqah [At Tankil 1/350]
    Muhammad bin Ja’far Al Faidy adalah Syaikh [guru] Bukhari yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat juz 9 no 15466. Telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat diantaranya Al Bukhari [dalam kitab Shahih-nya] oleh karena itu disebutkan dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib no 5786 kalau ia seorang yang shaduq hasanul hadis. Sebenarnya dia seorang yang tsiqat karena selain Ibnu Hibban, Abu Bakar Al Bazzar menyatakan ia shalih [Kasyf Al Astar 3/218 no 2606] dan Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat makmun [Al Mustadrak Al Hakim no 4637].
    Ibnu Hajar menyebutkan biografi Muhammad bin Ja’far Al Faidy dalam At Tahdzib juz 9 no 128 dan disini Ibnu Hajar mengalami kerancuan. Ibnu Hajar membuat keraguan kalau sebenarnya dia bukanlah syaikh [guru] Al Bukhari. Dalam Shahih Bukhari disebutkan dengan kata-kata “haddatsana Muhammad bin Ja’far Abu Ja’far haddatsana Ibnu Fudhail” [Shahih Bukhari no 2471]. Menurut Ibnu Hajar, Muhammad bin Ja’far yang dimaksud bukan Al Faidy tetapi Muhammad bin Ja’far Al Simnani Al Qumasi yang biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 9 no 131. Muhammad bin Ja’far Al Simnani disebutkan Ibnu Hajar kalau dia dikenal Syaikh Al Bukhari seorang hafiz yang tsiqat dan dia masyhur dikenal dengan kuniyah Abu Ja’far sedangkan Al Faidy lebih masyhur dengan kuniyah Abu Abdullah. Disini Ibnu Hajar melakukan dua kerancuan
    • Pertama, Muhammad bin Ja’far yang dimaksud Al Bukhari adalah Muhammad bin Ja’far Al Faidy karena Al Hakim dengan jelas menyebutkan Muhammad bin Ja’far Al Faidy dengan kuniyah Abu Ja’far Al Kufi dan dialah yang meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Fudhail bin Ghazwan Al Kufy [Al Asami wal Kuna juz 3 no 1044]. Bukhari sendiri menyebutkan kalau Muhammad bin Ja’far Abu Ja’far yang meriwayatkan dari Ibnu Fudhail tinggal di Faid dengan kata lain dia adalah Al Faidy [Tarikh Al Kabir juz 1 no 118]. Jadi memang benar kalau Muhammad bin Ja’far Al Faidy adalah Syaikh atau gurunya Al Bukhari.
    • Kedua, Ibnu Hajar dengan jelas menyatakan Muhammad bin Ja’far Al Simnani [Syaikh Al Bukhari] seorang hafiz yang tsiqat [At Taqrib 2/63] sedangkan untuk Muhammad bin Ja’far Al Faidy [Syaikh Al Bukhari] Ibnu Hajar memberikan predikat “maqbul” [At Taqrib 2/63]. Hal ini benar-benar sangat rancu, Muhammad bin Ja’far Al Simnani walaupun ia gurunya Al Bukhari tidak ada satupun ulama mutaqaddimin yang memberikan predikat ta’dil kepadanya bahkan Ibnu Hibban tidak memasukkannya dalam Ats Tsiqat sedangkan Muhammad bin Ja’far Al Faidy telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Jadi yang seharusnya dinyatakan tsiqat itu adalah Muhammad bin Ja’far Al Faidy.
    Abu Muawiyah Ad Dharir yaitu Muhammad bin Khazim At Tamimi seorang perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat [At Taqrib 2/70]. Sulaiman bin Mihran Al ‘Amasy juga perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat [At Taqrib 1/392] dan Mujahid adalah seorang tabiin Saidina ahli tafsir perawi kutubus sittah yang juga dikenal tsiqat [At Taqrib 2/159]. Salah satu cacat yang dijadikan dalih oleh salafy adalah tadlis Al ‘Amasy. Al’Amasy memang dikenal mudallis tetapi ia disebutkan Ibnu Hajar dalam Thabaqat Al Mudallisin no 55 mudallis martabat kedua yaitu mudallis yang an’ anah-nya dijadikan hujjah dalam kitab shahih.
    • Saidina Bukhari telah menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid dalam Shahih Bukhari no 1361, 1378, 1393
    • Saidina Muslim menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid dalam Shahih Muslim no 2801
    • Saidina Tirmidzi menyatakan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid hasan shahih dalam Sunan Tirmidzi 4/706 no 2585
    • Adz Dzahabi menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid dalam Talkhis Al Mustadrak 2/421 no 2613
    • Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir no 2993]
    • Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid shahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Al Arnauth no 2993]
    • Syaikh Al Albani menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid dalam Irwa’ Al Ghalil 1/253
    Tentu saja mencacatkan hadis ini dengan dalih tadlis ‘Amasy adalah pencacatan yang lemah dan terkesan dicari-cari karena cukup dikenal di kalangan ulama dan muhaqqiq kalau an an-ah ‘Amasy bisa dijadikan hujjah.
    .Ulasan
    Sanad riwayat Al Hakim di atas adalah sanad yang jayyid dan tidak diragukan lagi kalau para perawinya tsiqah sehingga kedudukan hadis tersebut seperti yang dikatakan Al Hakim dan Ibnu Ma’in yaitu shahih. Riwayat Al Hakim ini sekaligus bukti bahwa Abu Shult Al Harawi tidak memalsukan hadis ini. Hadis ini memang hadis Abu Muawiyah dan tidak hanya Abu Shult yang meriwayatkan darinya tetapi juga Muhammad bin Ja’far Al Faidy seorang yang tsiqat dan makmun
    Kalaulah umat Islam menerima hadis tersebut maka Saidina Ali adalah pintu Ilmu maka fahamlah kenapa kebanyakan hadis yang diriwayat oleh Saidina Ali telah banyak dikerat buang hasil ulama didikan orientalis terutamanya tentang aqidah maka kebanyakan umat Islam hari ini telah kehilangan pintu ilmu.
    Sedar tak sedar satu lagi system licik tauliah diperkenalkan diseluruh pusat pengajian Islam dinegara-negara orang Islam yang kononnya dimerdekakan oleh penjajah adalah untuk memastikan kekotoran peninggalan mereka dapat pertahankan dan dibajai oleh orang Islam itu sendiri. Kini mereka tidak perlukan kepandaian Goldziher atau Louis Masignon lagi kerana seluruh pusat pengajian Islam dibawah payung pemerintah dapat menjalankan tugas itu dengan baik sekali.
    Kesimpulan Ringkas
    Seluruh pusat pengajian Islam bertauliah dinegara-negara orang Islam yang kononnya dimerdekakan telah musnah Ilmu Tauhid hasil dari kotoran tangan-tangan penjajah dan tali-barutnya. Baik Islam ala “ Al-Azhar “ atau Islam ala “wahabi/salafy”. Sisa-sisa aqidah Islam sebenar hanya tinggal pada kitab-kitab lama yang telah diharamkan oleh pemerintah Negara-negara Islam itu sendiri. Ini adalah perancangan kotor dan sangat licik oleh musuh-musuh Islam.
    Hadis Sahih:
    Daripada Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah Salawatu Alai Wasalam, “Islam mula tersebar dalam keadaan dagang (asing). Dan ia akan kembali asing pula. Maka beruntunglah orang orang yang asing”.
    H.R. Muslim

    Benarlah ya Rasullullah Sabdamu diatas yang mana sekarang ini terasa begitu dagangnya.
    Akibat tekanan hebat dan dagangnya aqidah Islam sebenar maka guru-guru daif(kebanyakannya dihujung umur) sekolah pondok atau bawah tanah tidak mampu menangkis fitnah-fitnah keatas Islam dari musuh-musuh orientalis bukan Islam bahkan lebih-lebih lagi dari ulama-ulama terkini yang hanyut dengan tauliah-tauliah mereka. Nauzubillah….Semoga Allah selamatkan hambamu ini….

Tinggalkan Balasan ke Tarbiyatul banin Batalkan balasan